Cipto
Mangunkusumo adalah seorang Pahlawan Nasional yang
terkenal sebagai Tokoh Pergerakan Kemerdekaan Indonesia yang jasa-jasanya begitu
besar dalam sejarah Indonesia, sehingga tidak heran jika wajahnya menjadi salah
satu dari 12
Pahlawan Nasional yang menghiasi uang baru NKRI emisi 2016 dimana gambar Cipto Mangunkusumo akan dicetak pada pecahan Rp. 200 (dua ratus rupiah) yang telah resmi
dirilis bersamaan dengan 11 uang NKRI desain baru lainnya oleh Presiden Joko
Widodo pada Senin, 19 Desember 2016. Sesuai Keputusan
Presiden Nomor 31 Tahun 2016 tentang Penetapan Gambar Pahlawan Nasional sebagai
gambar utama pada bagian depan Rupiah kertas dan Rupiah logam NKRI, Bank Indonesia telah resmi menerbitkan 7 (tujuh) pecahan uang
rupiah kertas dan 4 (empat) pecahan uang
rupiah logam.
Profil
Cipto
Mangunkusumo
Artikel Ditulis Oleh Jengkar Wasana
Sumber : Wikipedia
Mengenal
Lebih Dalam Siapakah Cipto Mangunkusumo
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada tanggal
4 Maret 1886 di desa Pecangaan Kabupaten Jepara Jawa Tengah, perjalanan
karirnya dimulai sebagai seorang guru Bahasa Melayu di sebuah SD di Ambarawa
kemudian menjadi Kepala Sekolah di sebuah SD di Semarang dan selanjutnya
menjadi Pembantu Administrasi di Dewan Kota Semarang. Dr Tjipto Mangoenkoesoemo adalah seorang tokoh
pergerakan kemerdekaan Indonesia yang dikenal sebagai “Tiga Serangkai” bersama
dua sahabatnya yaitu Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara. Berbeda dengan kedua
rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil jalur
pendidikan, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo tetap berjalan di
jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad. Karena sikap radikalnya, pada
tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Belanda.
Dr Tjipto Mangoenkoesoemo menikah dengan
seorang pengusaha batik bernama Marie Vogel pada tahun 1920 yang juga
teman seorganisasi di Insulinde. Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Ambarawa.
Dr Tjipto Mangoenkoesoemo menempuh pendidikan
di STOVIA, dikenal sebagai murid dengan pribadi yang jujur, berpikiran tajam
dan rajin. “Een begaafd leerling”, atau murid yang berbakat adalah julukan yang
diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Namun beberapa peraturan di Stovia
menimbulkan ketidakpuasan pada dirinya, seperti diharuskan memakai pakaian tradisional
bila sedang berada di sekolah, sementara pakaian barat hanya boleh dipakai
dalam hirarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi yang berpangkat bupati.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto Mangunkusumo adalah diskriminasi
ras, contohnya penerimaan gaji orang Eropa yang jauh lebih tinggi dari orang
pribumi meski jenis pekerjaanya sama. Dalam bidang pemerintahan, politik,
ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua
jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan,
bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran,
tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa. Terbentuknya
Budi Utomo pada tanggal 20 Mei disambut baik Dr Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai bentuk
kesadaran pribumi akan dirinya. Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan
antara Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Radjiman
Wedyodiningrat dimana Dr Tjipto Mangoenkoesoemo menginginkan Budi
Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan
terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi
rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi
lainnya. Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan
kebudayaan yang bersifat Jawa. Dr Tjipto Mangoenkoesoemo mengemukakan bahwa
sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahkan, terlebih dahulu diselesaikan
masalah politik. Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo akhirnya mengundurkan
diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Dr Tjipto Mangoenkoesoemo tidak ada lagi
perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesif
nya.
Setelah mengundurkan
diri dari Budi Utomo, Cipto Mangunkusumo membuka praktik
dokter di Solo. Meskipun demikian, Cipto Mangunkusumo tidak meninggalkan
dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukan nya melayani pasien nya, Cipto Mangunkusumo mendirikan Raden
Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada
politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker yang
dilihatnya sebagai sebagai kawan seperjuangan. Kerjasama dengan Douwes Dekker telah
memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik
bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Mangunkusumo Indische Partij merupakan
upaya mulia mewakili kepentingan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda,
tidak memandang suku, golongan, dan agama. Pada tahunn 1912 Cipto Mangunkusumo pindah dari Solo
ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi
anggota redaksi penerbitan harian de Expressdan majalah het
Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu
sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch
Niewsblad. Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid STOVIA.
Pada November 1913,
Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Peringatan
tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan
tersebut menurut Cipto Mangunkusumo sebagai suatu
penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi
Suyaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun
kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Aksi Komite Bumi Putera
mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan
suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Een
Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya
dalam harian De Express Cipto Mangunkusumo menulis artikel yang
mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi sangat
memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi
dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto Mangunkusumo bersama Suwardi
Suryaningrat dan Douwes dekker ke Belanda. Selama masa pembuangan di Belanda,
bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo tetap melancarkan
aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi
Indische Partij. Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah
membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di
Belanda. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal
Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.
Oleh karena alasan
kesehatan, pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo diperbolehkan pulang
kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu
perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota
pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk
Insulinde, terutama di daerah pesisir utara pulau Jawa. Insulinde di bawah
pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda sehingga pada
tanggal 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij
(NIP).
Pada tahun 1918
Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat), yang menurut
Cipto Mangunkusumo merupakan suatu
kemajuan yang berarti, Cipto Mangunkusumo memanfaatkan Volksraad
sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada pemerintah mengenai
masalah sosial dan politik. Pada 25 November 1919 Cipto Mangunkusumo berpidato di
Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan
residen dalam menipu rakyat. Cipto Mangunkusumo menyatakan bahwa
pinjaman 12 gulden dari sunan
ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian lama di perkebunan yang
apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi 28 gulden.
Melihat kenyataan itu,
Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto Mangunkusumo sebagai orang yang
sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad
van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur
Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Akan tetapi,
pada kenyataannya pembuangan Cipto Mangunkusumo ke daerah Jawa,
Madura, Aceh, Palembang, Jambi dan Kaltim masih tetap membahayakan pemerintah.
Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal
mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu juga Cipto
dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke
Bandung dan dilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Cipto
kembali membuka praktik dokter. Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu
kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya ia masuk keluar kampung untuk
mengobati pasien.
Di Bandung, Cipto
dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Soekarno. Pada
akhir tahun 1926 dan tahun 1927di beberapa tempat di Indonesia terjadi
pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui kegagalan dan ribuan orang
ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini Cipto Mangunkusumo juga ditangkap dan
didakwa turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Dalam pembuangan,
penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto Mangunkusumokemudian mengusulkan
kepada pemerintah agar Cipto Mangunkusumo dibebaskan. Ketika
Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke
Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Cipto Mangunkusumo secara tegas
mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya.
Cipto kemudian dialihkan ke Makassar, dan pada tahun 1940 Cipto Mangunkusumo dipindahkan ke
Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal pada 8
Maret 1943.
Pada desain baru uang NKRI ada 12 Pahlawan Nasional yang menghiasi uang baru NKRI emisi 2016, 12 pahlawan tersebut adalah sebagai berikut :
12 PAHLAWAN NASIONAL YANG MENGHIASI UANG BARU NKRI
Dr. (H.C.) Ir. Soekarno pada desain mata uang baru pecahan Rp.100.000
Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta pada desain mata uang baru pecahan Rp.100.000
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja pada desain mata uang baru pecahan Rp.50.000
Dr. G.S.S.J. Ratulangi pada desain mata uang baru pecahan Rp.20.000
Frans Kaisiepo pada desain mata uang baru pecahan Rp.10.000
Dr. K.H. Idham Chalid pada desain mata uang baru pecahan Rp.5.000
Mohammad Hoesni Thamrin pada desain mata uang baru pecahan Rp.2.000
Tjut Meutia pada desain mata uang baru pecahan Rp.1.000
Mr. I Gusti Ketut Pudja pada desain mata uang logam baru pecahan Rp.1.000
Letjen TNI (Purn) TB Simatupang pada desain mata uang logam baru pecahan Rp.500
Dr. Tjiptomangunkusumo pada desain mata uang logam baru pecahan Rp.200
Prof. Dr. Ir. Herman Johanes pada desain mata uang l
Posting Komentar