Moh Hatta adalah seorang Pahlawan Nasional yang terkenal sebagai Proklamator
Republik Indonesia ini mempunyai jasa besar dalam sejarah Indonesia, sehingga
tidak heran jika wajahnya dipilih kembali bersama dengan gambar Ir. Soekarno
menghiasi uang pecahan 100 ribu bersama dengan 12
Pahlawan Nasional yang menghiasi uang baru NKRI emisi 2016 dimana gambar Moh Hatta akan dicetak pada pecahan Rp. 100.000 (lima puluh ribu rupiah) yang telah
resmi dirilis secara bersamaan 11 uang NKRI desain baru oleh Presiden Joko
Widodo pada Senin, 19 Desember 2016. Sesuai Keputusan
Presiden Nomor 31 Tahun 2016 tentang Penetapan Gambar Pahlawan Nasional sebagai
gambar utama pada bagian depan Rupiah kertas dan Rupiah logam NKRI, Bank Indonesia telah resmi menerbitkan 7 (tujuh) pecahan uang
rupiah kertas dan 4 (empat) pecahan uang
rupiah logam.
Profil
Moh Hatta
Artikel Ditulis Oleh Jengkar Wasana
Sumber : Wikipedia
Mengenal
Lebih Dalam Siapakah Moh Hatta
Mohammad Hatta dilahirkan
dengan nama kecil Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902 dari pasangan
Muhammad Djamil dan Siti Saleha, sejak kecil dididik dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam.
Mohammad Hatta pertama
kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.[6] Setelah enam bulan, ia pindah
ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun, pelajarannya
berhenti pada pertengahan semester kelas tiga.[7] Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913,[7] kemudian
melanjutkan ke MULOsampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah ditempa
ilmu-ilmu agama sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama
lainnya.[8] Selain keluarga,
perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di Padang, ia
mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Usaha dan juga aktif
dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara.[9] Kegiatannya ini tetap
dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad Hatta
tetap menjadi bendahara di Jakarta.[10]
Kakeknya bermaksud
akan ke Mekkah, dan pada kesempatan
tersebut, ia dapat membawa Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama, yakni ke Mesir (Al-Azhar).[11] Ini dilakukan
untuk meningkatkan kualitas surau di Batu Hampar yang memang sudah menurun semenjak
ditinggalkan Syaikh Abdurrahman. Tapi, hal ini diprotes dan mengusulkan
pamannya, Idris untuk menggantikannya.[11] Menurut catatan Amrin Imran,
Pak Gaeknya kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan kepada Tuhan.[12]
Pada 18 November 1945,
Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari setelah menikah, mereka
bertempat tinggal di Yogyakarta. Kemudian, dikarunai 3 anak perempuan yang
bernama Meutia
Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.
Bandar udara
internasional Tangerang Banten, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan namanya sebagai penghormatan
terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta
juga diabadikan di Belandayaitu sebagai nama
jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlemdengan nama Mohammed
Hattastraat. Pada tahun 1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta
ditetapkan sebagai salah satuPahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui
Keppres nomor 081/TK/1986/[1]
Hatta (berdiri, kedua
dari kanan) bersama para pengurus Perhimpunan Indonesia, pada waktu itu (tahun 1925) Hatta masih berstatus seorang bendahara di situ
Pergerakan politik ia mulai sewaktu
bersekolah di Belanda dari 1921-1932. Ia bersekolah
di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut Economische
Hogeschool, sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam), selama bersekolah di sana, ia masuk
organisasi sosial Indische Vereniging yang kemudian
menjadi organisasi politik dengan adanya
pengaruh Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker. Pada tahun 1923, Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia
Putera yang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.[13] Pada tahun 1924, organisasi ini berubah nama menjadi Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia; PI).[14]
Pada tahun 1926, ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai akibatnya,
ia terlambat menyelesaikan studi.[15] Di bawah
kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak
memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia dengan
memberikan banyak komentar, dan banyak ulasan di media massa di Indonesia.[15] Setahun
kemudian, ia seharusnya sudah berhenti dari jabatan ketua, namun ia dipilih
kembali hingga tahun 1930.[16] Pada Desember
1926, Semaun dari PKI datang kepada Hatta untuk menawarkan pimpinan pergerakan
nasional secara umum kepada PI,[15] selain itu dia dan Semaun
membuat suatu perjanjian bernama "Konvensi Semaun-Hatta". Inilah yang
dijadikan alasan Pemerintah Belanda ingin menangkap Hatta.[17] Waktu itu, Hatta belum
meyetujui paham komunis. Stalinmembatalkan keinginan
Semaun, sehingga hubungan Hatta dengan komunisme mulai memburuk.[18] Sikap Hatta ini ditentang oleh
anggota PI yang sudah dikuasai komunis.[19]
Pada tahun 1927, ia mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme,
Penindasan Kolonial dan untuk Kemerdekaan Nasional" di Frankfurt.[a] Dalam sidang
ini, pihak komunis dan utusan dari Rusia nampak ingin menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak
bisa percaya terhadap komunis.[20] Pada waktu itu,
majalah PI, Indonesia Merdeka masuk dengan
mudah ke Indonesia lewat
penyelundupan, karena banyak penggeledahan oleh pihak kepolisian terhadap kaum
pergerakan yang dicurigai. [21]
Pada 25 September
1927, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Madjid
Djojohadiningrat ditangkap oleh penguasa Belanda atas tuduhan
mengikuti partai terlarang yang
dikait-kaitkan dengan Semaun, terlibat
pemberontakan di Indonesia yang
dilakukan PKI dari tahun 1926-1927, dan menghasut (opruiing)
supaya menentang Kerajaan Belanda. Moh. Hatta sendiri dihukum tiga tahun
penjara.[22] Mereka semua dipenjara
di Rotterdam.[23] Dia juga dituduh
akan melarikan diri, sehingga dia yang sedang memperkenalkanIndonesia ke kota-kota
di Eropa sengaja pulang lebih
cepat begitu berita ini tersebar.[24]
Semua tuduhan
tersebut, ia tolak dalam pidatonya "Indonesia
Merdeka" (Indonesie Vrij) pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928.[23] Pidato ini
sampai ke Indonesia dengan cara
penyelundupan. Ia juga dibela 3 orang pengacara Belanda yang salah satunya
berasal dari parlemen. Yang dari parlemen,
bernama J.E.W. Duys. Tokoh ini memang bersimpati padanya. Setelah ditahan beberapa
bulan, mereka berempat dibebaskan dari tuduhan, karena tuduhan tidak bisa
dibuktikan.[25]
Sampai pada
tahun 1931, Mohammad Hatta
mundur dari kedudukannya sebagai ketua karena hendak mengikuti ujian sarjana,
sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia akan tetap membantu PI.[16] Akibatnya, PI
jatuh ke tangan komunis, dan mendapat arahan
dari partai komunis Belanda dan juga dari Moskow. Setelah tahun 1931, PI mengecam keras kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari
organisasi ini.[26] PI di Belanda mengecam sikap
Hatta sebab ia bersama Soedjadi mengkritik secara terbuka terhadap PI.
Perhimpunan menahan sikap terhadap kedua orang ini.[27]
Pada Desember 1931,
para pengikut Hatta segera membuat gerakan tandingan yang disebut Gerakan
Merdeka yang kemudian bernama Pendidikan Nasional Indonesia yang kelak disebut
PNI Baru. Ini mendorong Hatta dan Syahrir yang pada saat
itu sedang bersekolah di Belanda untuk mengambil langkah kongkret untuk
mempersiapkan kepemimpinan di sana. Hatta sendiri merasa perlu untuk menyelesaikan
studinya terlebih dahulu. Oleh karenanya, Syahrir terpaksa pulang dan untuk
memimpin PNI.[28] Kalau Hatta kembali pada 1932, diharapkan Syahrir dapat melanjutkan studinya.[28]
Sekembalinya ia
dari Belanda, ia ditawarkan masuk
kalangan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP)
untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan hangat di
Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya telegram pada 6 Desember
1932, yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota Parlemen.[29] Ini dikarenakan ia berpendapat
bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi anggota dalam parlemen Belanda.[30]Sebenarnya dia menolak
masuk, dengan alasan ia perlu berada dan berjuang di Indonesia.[b] Namun,
pemberitaan di Indonesia mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut,
sehingga Soekarno menuduhnya tidak
konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif.[31]
Setelah Hatta kembali
dari Belanda, Syahrir tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap
Belanda pada 25
Februari 1934 dan dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira.[32] Baik di Digul maupun Banda Neira, ia banyak menulis
di koran-koran Jakarta, dan
ada juga untuk majalah-majalah di Medan. Artikelnya tidak terlalu politis, namun bersifat lebih
menganalisis dan mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas pertarungan
kekuasaan di Pasifik.[33]
Semasa diasingkan
ke Digul, ia membawa semua
buku-bukunya ke tempat pengasingannya. Di sana, ia mengatur waktunya
sehari-hari. Pada saat hendak membaca, ia tak mau diganggu. Sehingga, beberapa
kawannya menganggap dia sombong.[34] Ia juga merupakan sosok yang
peduli terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat,
misalnya memberantas malaria. Apabila ia mau
bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia hanya
diberi gaji f 2.50 saja.[35] Gajinya itu
tidak ia habiskan sendiri. Ia juga peduli terhadap kawannya yang kekurangan.[35]
Di Digul, selain bercocok tanam,[36] ia juga membuat kursus kepada
para tahanan. Di antara tahanan tersebut, ada beberapa orang yang ibadah shalat
dan puasanya teratur; baik dari Minangkabau maupun Banten. Tapi, mereka
ditangkap karena -pada umumnya- terlibat pemberontakan komunis.[37] Pada masa itu, ia menulis
surat untuk iparnya untuk dikirimi alat-alat pertukangan seperti paku dan gergaji. Selain itu, dia juga menceritakan nasib
orang-orang buangan dalam surat itu. Kemudian, ipar Hatta mengirim surat itu ke
koran Pemandangan di Jakarta dan segera surat itu dimuat.
Surat itu dibaca menteri jajahan pada saat itu, Colijn.[38] Colijn mengecam pemerintah dan
segera mengirim residen Ambon untuk menemui Hatta di Digul. Maka uang diberikan
untuknya, Hatta menolak dan ia juga meminta supaya kalau mau ditambah,
diberikan juga kepada pemimpin lain yang hidup dalam pembuangan.[36]
Pada 1937, ia
menerima telegram yang mengatakan
dia dipindah dari Digul ke Banda Neira.[c] Hatta pindah
bersama Syahrir pada bulan Februari pada tahun itu, dan mereka menyewa sebuah
rumah yang cukup besar. Di situ, ada beberapa kamar dan ruangan yang cukup
besar. Adapun ruangan besar itu digunakannya untuk menyimpan bukunya dan tempat
bekerjanya.[39]
Sewaktu di Banda Neira, ia bercocok tanam
dan menulis di koran "Sin Tit
Po" (dipimpin Lim Koen Hian; bulanan ini berhenti pada 1938) dengan honorarium f 75
dalam Bahasa Belanda. Kemudian, ia menulis di Nationale Commantaren (Komentar
Nasional; dipimpin Sam Ratulangi) dan juga, ia menulis
di koran Pemandangan dengan honorarium f 50 sebulan per
satu/dua tulisan.[40] Hatta juga
pernah menerima tawaran Kiai Haji Mas Mansur untuk ke Makassar, dia menolak dengan
alasan kalaupun dirinya ke Makassara dia masih berstatus tahanan juga.[41] Waktu itu, sudah
ada Cipto Mangunkusumodan Iwa Kusumasumantri. Mereka semua sudah saling mengenal.
Selain itu, di Banda
Neira, Hatta juga mengajar kepada beberapa orang pemuda. Anak dr. Cipto belajar
tata-buku dansejarah. Ada juga anak asli
daerah Banda Neira yang belajar kepada Hatta. Ada seorang kenalan Hatta
dari Sumatera Baratyang mengirimkan dua orang kemenakannya untuk belajar ekonomi dan juga
sejarah.[42] Selain itu, dari Bukittinggi dikirimAnwar Sutan Saidi sebanyak empat
orang pemuda yang belajar kepada Hatta.[43]
Pada tahun 1941,
Mohammad Hatta menulis artikel di koran Pemandangan yang
isinya supaya rakyat Indonesia jangan memihak
kepada baik ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang. Kelak, pada zaman Jepang
tulisan Hatta dijadikan bahan oleh penguasa Jepang untuk tidak percaya Hatta
selama Perang Pasifik.[44] Yang mana, kelak tulisan Hatta
dibaca Murase, seorang Wakil Kepala Kenpeitei (dinas
intelijen) dan menyarankan Hatta agar mengikuti Nippon Sheisin di Tokyo[45] pada November
1943.[46]
Pada tanggal 8
Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl
Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan
genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan
orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir
kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada
Februari 1942,[47] ke Sukabumi
setelah menginap sehari diSurabaya dan naik kereta api ke Jakarta. Bersama kedua orang
ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan anak angkat oleh Syahrir.[48]
Setelah itu, ia dibawa
kembali ke Jakarta. Ia bertemu Mayor
Jenderal Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia. Harada menawarkan
kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta
menolak, dan memilih menjadi penasihat.[49] Ia dijadikan penasihat dan
diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje Boulevard (Jalan
Diponegoro). Orang terkenal pada masa sebelum perang, baik orang pergerakan,
atau mereka yang bekerjasama dengan Belanda, diikut sertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo
Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru.
Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran oleh pihak Jepang.[50] Jepang mengharapkan agar Hatta
memberikan nasihat yang menguntungkan mereka, malah Hatta memanfaatkan itu
untuk membela kepentingan rakyat.[51]
Saat-saat mendekati
Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan
tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia.
Panitia kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno. Anggota
lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar
Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Kemudian pada 9
Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat
diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan
hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada
Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara
Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa
Rengasdengklok hari dimana Bung Karno bersama Bung Hatta diculik ke kota kecil
Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).
Penculikan itu
dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan
proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan
Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala
pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai
pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak
menghasilkan kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu meyakinkan
mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi
dengan Jepang.
Pada 17 Agustus 1945,
hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia dia bersama
Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56
Jakarta pk10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945, dia
resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi Presiden
Soekarno.
Selama menjadi Wakil
Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan nada sangat marah, menyelamatkan
Republik dengan mempertahankan naskah Linggajati di Sidang Pleno KNIP di Malang
yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947 dan hasilnya Persetujuan
Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota
KNIP menjadi agak lunak pada 6 Maret 1947.
Pada saat terjadinya
Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Hatta dapat meloloskan diri dari
kepungan Belanda dan pada saat itu dia masih berada di Pematang Siantar. Dia
dengan selamat bersama dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Hassan tiba di
Bukittinggi. Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan Kongres
Koperasi pertama di Tasikmalaya. Pada hari itu juga, Hari Koperasi Indonesia
ditetapkan dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Kemudian, Bung Hatta
dengan kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak menggoalkan persetujuan
Renville dengan berakibat jatuhnya Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet
Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta
menjadi Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan.
Suasana panas waktu
timbul pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948, memuncak pada
penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung Hatta
bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada tahun
yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka.
Beberapa waktu setelah pengasingan karena mengalami adanya sebuah perundingan
Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili
Australia dan Cochran mewakili Amerika.
Mohammad Hatta
berpidato di hadapan para peserta Konferensi Persiapan Nasional di Jakartapada 26 November 1949. Tampak Sartono (duduk deretan
depan no.2 dari kiri) mendengarkan dengan saksama.
Pada Juli 1949,
terjadi kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Tahun
ini, terjadilah sebuah perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949
kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda
pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali Irian
Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah Pengakuan
Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik
Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.
Di Amsterdam dari Ratu
Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili
Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sehingga pada akhirnya negara
Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Bung Hatta terpilih
menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan
berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno menjadi Presiden RIS. Ternyata RIS tidak
berlangsung lama, dan pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dengan Perdana Menteri Moh.
Natsir. Bung Hatta menjadi Wakil Presiden RI lagi dan berdinas kembali ke rumah
yang berada di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 Jakarta.
Kunjungan kerja Wakil
Presiden Moh.Hatta keYogyakarta tahun 1950. Tampak dalam gambar,paling kiri, Mayor Pranoto Reksosamodrasebagai Komandan Militer Kota
Besar Yogyakarta.
Pada tahun 1955, Mohammad Hatta membuat pernyataan bahwa bilaparlemen dan konstituante pilihan rakyat
sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri. Menurutnya, dalam negara yang
mempunyai kabinetparlementer, Kepala Negara adalah sekadar simbol saja, sehingga Wakil
Presiden tidak diperlukan lagi.
Pada tanggal 20 Juli 1956, Mohammad Hatta menulis sepucuk surat kepada Ketua DPR pada
saat itu, Sartono yang isinya
antara lain, "Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa
sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja,
dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya
bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah
Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi."
DPR menolak secara
halus permintaan Mohammad Hatta tersebut, dengan cara mendiamkan surat
tersebut. Kemudian, pada tanggal 23 November 1956, Bung Hatta menulis surat susulan yang isinya sama, bahwa
tanggal 1
Desember 1956, dia akan berhenti sebagai Wakil Presiden RI. Akhirnya, pada
sidang DPR pada 30
November 1956, DPR akhirnya menyetujui permintaan Mohammad Hatta untuk
mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden, jabatan yang telah
dipegangnya selama 11 tahun.
Di akhir tahun 1956
juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak
ingin memasukkan unsur komunisdalam kabinet pada
waktu itu. Sebelum ia mundur, dia mendapatkan gelar doctor honouris causa
dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sebenarnya gelar
doctor honouris causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun, gelar tersebut
baru diberikan pada 27 November 1956. Demikian pula Universitas Indonesia pada
tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta belum bersedia
menerimanya. Kata dia, “Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun.”.
Foto terakhir Bung
Hatta sebelum masuk rumah sakit, tanggal 1 Maret 1980. Di sebelah kanan adalah Ny. Moenadji
Soerjohadikoesoemo.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang juga pernah menjabat sebagai Wakil
Presiden RI tampak serius berbicara dengan Mohammad Hatta.
Setelah mundur dari
jabatannya sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember1956, dia dan keluarga berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka
Selatan 13 ke Jalan Diponegoro 57. Bung Hatta tak pernah menyesal atas
keputusan yang telah ia buat. Kegiatan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun
adalah menambah dari penghasilan menulis buku dan mengajar. Meskipun sudah tak
menjabat lagi sebagai Wakil Presiden, pada tahun 1957 dia berangkat ke Cina
karena mendapat undangan dari Pemerintah RRC. Rakyat sana masih menganggap dia
sebagai “a great son of his country”, terbukti dari penyambutan yang seharusnya
diberikan kepada seorang kepala negara di mana PM Zhou Enlai sendiri
menyambut dia yang bukan lagi sebagai wakil presiden.
Mereka yang sibuk pada
masa Revolusi berkumpul kembali tahun 1979 ketikaRichard C. Kirby, yang dulu mewakiliAustralia dalam Komite
Jasa Baik PBB untukIndonesia (KTN), berkunjung ke Jakarta. Dari
kanan : Ali Budiardjo (pembantu politikHamengkubuwono IX menjelang RIS),
Mohammad Hatta, Richard C. Kirby,Mohammad Roem, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Subadio Sastrosatomo, Mohammad Natsir, Tamzil, dan Thomas K. Critchley yang
menggantikan Kirby dalam Komite PBB.
Ketika Presiden
Soekarno berada di puncak kekuasaannya pada tahun 1963, Bung Hatta pertama kali
jatuh sakit dan perlu perawatan di Swediakarena perlengkapan
medis di sana lebih lengkap. Sekitar tahun 1965, Bung Hatta sering jadi
bulan-bulanan serangan politik PKI.
Pada 31 Januari 1970,
melalui Keppres No. 12/1970 telah dibentuk Komisi Empat yang bertugas mengusut
masalah korupsi. Untuk keperluan itu Dr. Moh. Hatta (mantan Wakil Presiden RI)
telah diangkat menjadi Penasehat Presiden dalam masalah pemberantasan Korupsi.
Komisi Empat ini diketuai oleh Wilopo, SH, dengan anggota-anggota: IJ Kasimo, Prof. Dr. Yohanes,
H. Anwar Tjokroaminoto, dengan sekretaris Kepala Bakin/Sekretaris Kopkamtib,
Mayjen. Sutopo Juwono. Dr. Moh. Hatta juga ditunjuk sebagai Penasehat Komisi
Empat tersebut.
Hatta dipercaya oleh
Presiden Soeharto untuk menjadi Anggota Dewan Penasehat Presiden. Pada 15
Agustus 1972, Bung Hatta mendapat anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I
dari Pemerintah Republik Indonesia. Kemudian, pada tahun yang sama Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta mengangkat dia sebagai warga utama Ibukota Jakarta dengan
segala fasilitasnya, seperti perbaikan besarnya pensiun dan penetapan rumah dia
menjadi salah satu gedung yang bersejarah di Jakarta.
Kemudian, pada tahun
1975, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima bersama Prof Mr. Soebardjo, Prof
Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk memberi pengertian
mengenai Pancasila sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir dan batin para
penyusun UUD
1945 dengan Pancasilanya.
Ternyata, Bung Hatta resmi menjadi Ketua Panitia Lima. Tak hanya itu, Bung Hatta kembali
mendapatkan gelar doctor honouris causa sebagai tokoh proklamator dariUniversitas Indonesia yang seharusnya diberikan pada tahun 1951. Pemberian gelar
tersebut dilakukan di Jakarta pada 30 Juli 1975 dan diberikan secara langsung oleh Rektor Mahar Mardjono. Dan pada tahun 1979, dimana tahun tersebut merupakan tahun ke-5 Bung Hatta masuk ke
rumah sakit. Kesehatan Bung Hatta semakin menurun. Walaupun begitu, semangatnya
tetap saja tinggi. Ia masih mengikuti perkembangan politik dunia.
Hatta wafat pada
tanggal 14
Maret 1980 pk18.56 di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Selama
hidupnya, Bung Hatta telah dirawat di rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun
1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan terakhir pada 3 Maret 1980. Keesokan harinya,
dia disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di
TPU Tanah Kusir, Jakarta disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin
secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu,Adam Malik. Ia ditetapkan sebagai pahlawan
proklamator pada tahun 1986 oleh pemerintahan Soeharto.
Setelah wafat,
Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan mendiang Bung Karno. Pada 7 November 2012, Bung Hatta secara resmi bersama dengan Bung Karno ditetapkan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional.
Pada desain baru uang NKRI ada 12 Pahlawan Nasional yang menghiasi uang baru NKRI emisi 2016, 12 pahlawan tersebut adalah sebagai berikut :
12 PAHLAWAN NASIONAL YANG MENGHIASI UANG BARU NKRI
Dr. (H.C.) Ir. Soekarno pada desain mata uang baru pecahan Rp.100.000
Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta pada desain mata uang baru pecahan Rp.100.000
Ir. H. Djuanda Kartawidjaja pada desain mata uang baru pecahan Rp.50.000
Dr. G.S.S.J. Ratulangi pada desain mata uang baru pecahan Rp.20.000
Frans Kaisiepo pada desain mata uang baru pecahan Rp.10.000
Dr. K.H. Idham Chalid pada desain mata uang baru pecahan Rp.5.000
Mohammad Hoesni Thamrin pada desain mata uang baru pecahan Rp.2.000
Tjut Meutia pada desain mata uang baru pecahan Rp.1.000
Mr. I Gusti Ketut Pudja pada desain mata uang logam baru pecahan Rp.1.000
Letjen TNI (Purn) TB Simatupang pada desain mata uang logam baru pecahan Rp.500
Dr. Tjiptomangunkusumo pada desain mata uang logam baru pecahan Rp.200
Prof. Dr. Ir. Herman Johanes pada desain mata uang l
Posting Komentar